Awal 2017, saya bimbang apakah
harus menulis novel (lagi) atau berhenti dulu. Sebelum 2017, saya cukup
produktif menulis novel, setahun kadang bisa jadi dua. Namun, tiap kali menulis
novel saya harus meyakinkan diri sendiri di awal, bahwa novel itu haruslah
selesai. Dan itu tak mudah. Menulis beratus-ratus halaman cerita sering kali
menariknya cuma di awal dan di akhir.
Di awal, semua penulis saya kira
merasa idenya unik, hebat, “baru”, atau bahkan fantastis. Menjelang bagian tengah,
barulah pertanyaan itu muncul, “Apakah yang kutulis ini sesuatu yang
benar-benar hebat?” Bila seseorang bisa melanjutkan ceritanya—di tengah deraan
ketidakyakinan—barulah ia lega di akhir, sudah berhasil menyelesaikan sebuah
cerita yang membutuhkan napas panjang.
Februari 2017, saya agak iseng
membuat tulisan “Empat Manfaat Membaca Cerita Detektif”, saya publikasikan berseri
di Facebook. Tak dinyana, tulisan itu disukai beberapa teman, dibagi-bagikan, lalu
dimuat seorang kawan di sebuah situs web yang berisi berbagai informasi tentang
novel dan film detektif (detectivestoryid.wordpress.com/2017/03/08/manfaat-membaca-cerita-detektif/).
Dari situ, saya pun merasa, peluang untuk menulis tulisan pendek (opini atau esai)
terbuka. Jadi, saya berterima kasih kepada Muhammad Fadli, teman dan pencinta
kisah-kisah detektif, pengelola situs web itu, yang menyadarkan saya bahwa saya
perlu mencoba (lagi) menulis artikel.
Akhir Februari 2017, waktu hendak
menulis lebih banyak artikel, saya menetapkan suatu target: opini saya harus menembus
harian Kompas di rubrik opini halaman 6 atau 7. Sebelumnya (tahun 2009 dan
2012), tulisan saya pernah dimuat Kompas, tapi bukan di rubrik opini. Beberapa
orang menganggap target itu terlalu muluk karena persaingannya ketat, atau
malah lucu karena Kompas tidak perlu (lagi) dianggap sebagai media terbaik.
Namun, bagi saya, target menulis bisa
disamakan dengan tujuan wisata: Yang satu menganggap Tiongkok lebih bagus,
lainnya menyukai Prancis. Begitu juga dengan media—silakan anggap tujuan atau target
pribadi sebagai sesuatu yang layak diperjuangkan. Mau menulis di media cetak, online, weblog
sendiri, atau catatan harian pun sumonggo. Alhasil, sepanjang 2017-2018, tiga
opini saya dimuat rubrik opini di Kompas, dan satu artikel lainnya dimuat di Teroka
(rubrik esai kebudayaan Kompas).
Berikut beberapa artikel (esai dan opini) saya, juga cerpen, yang berhasil dimuat di beberapa media sepanjang 2017-2018:
2017:
2017:
1. Manfaat Kritik – Radar
Surabaya – 26 Maret 2017
2. Film, Anak, dan Keluarga – Analisa
– 30 Maret 2017
3. Pembunuhan di SMA Taruna dan
Riwayat Dendam Kesumat – Detik – 5 April 2017
4. Pengarang dan Kesendiriannya –
Radar Malang – 9 April 2017
5. Pengarang dan Panggung Politik
– Radar Surabaya – 9 April 2017
6. Kepergian Rima (cerpen) –
Media Indonesia – 16 April 2017
7. Pahlawan Bersertifikat dan
Lagu di Dalam Bis – Detik – 2 Mei 2017
8. Menggagas Pendidikan yang Toleran – Lampung Post – 3 Mei 2017
8. Menggagas Pendidikan yang Toleran – Lampung Post – 3 Mei 2017
9. Pendidikan, HAM, dan Sanksi
bagi Siswa – Analisa – 6 Mei 2017
10. Masihkah Buku Menjadi
Alternatif Hiburan? – Detik – 17 Mei 2017
11. Desa Tertinggal, Jalan, dan
Pendidikan – Jurnal Ruang – 24 Mei 2017
12. Pri, Nonpri, vs Toleransi –
Detik – 29 Mei 2017
13. Belajar Toleransi dari Rumah
Sakit – Detik – 8 Juni 2017
14. Sejarah untuk Pembelajaran
Nasionalisme dan Keberagaman – Jurnal Ruang – 14 Juni 2017
15. Dokumentasi sebagai Acuan
Kritik Sastra – Jurnal Ruang – 26 Juli 2017
16. Kepergian Rima (cerpen) –
Hidup – 30 Juli 2017 (Keterangan: Cerpen hampir sama dengan yang nomor 6.
Ceritanya, setelah hampir dua bulan cerpen saya kirimkan ke Hidup tidak ada
kabar, cerpen ini saya panjangkan, saya kirim ke Media Indonesia, dimuat.
Belakangan, bulan Juli, cerpen ini juga dimuat di majalah Hidup.)
17. Keraton Kadariah dan Kawasan
Merah – Pana Journal – 5 Agustus 2017
18. Menjadi Guru Inspiratif –
Jurnal Ruang – 15 Agustus 2017
19. Biopik yang Datar dan Terlalu
Penuh Kebaikan – Litera – 7 September 2017
20. Kerudung untuk Cucuku (cerpen) –
Tribun Jabar – 17 September
21. Nostalgia: Jaminan Sukses
Film Indonesia? – Analisa – 18 September 2017
22. Mengembalikan Kedudukan
Sejarah sebagai Ilmu – Analisa – 4 Oktober 2017
23. Pendidikan Batin – Kompas –
13 November 2017
24. Pendidikan Politik Kebinekaan
– Kompas – 24 November 2017
25. Koruptor, Plagiator, dan
Pendidikan Karakter – Detik – 24 November 2017
26. Optimalisasi Belajar di Kelas
– Analisa – 25 November 2017
2018:
27. Semua akan Belanja Online
pada Waktunya – Analisa – 8 Januari 2018
28. Tas dan Kenangan (cerpen) –
Hidup – 14 Januari 2018
29. Upaya Mengajarkan Rasa Malu –
Beritagar – 14 Januari 2018
30. Kejujuran Siswa dan
Pendidikan Karakter – Analisa – 3 Februari 2018
31. Upaya Mencegah Permusuhan –
Kompas – 2 Mei 2018
32. Mencintai Buku dari Keluarga –
Beritagar – 5 Mei 2018
33. Napas Terakhir (cerpen) –
Hidup – 3 Juni 2018
34. Guru dan Semangat
Kepahlawanan – Media Indonesia – 12 November 2018
35. Anak dan Benih-benih Kebencian
– Alinea – 19 November 2018
36. Guru dan Panggilan Hidup –
Kompas – 24 November 2018
37. Guru dan Rapuhnya Semangat
Kebangsaan – Koran Sindo – 24 November 2018
38. Guru dan Pembelajaran
Investasi – Kontan – 26 November 2018
39. Guru, Gerakan Literasi, dan
Integritas – Beritagar – 27 November 2018
40. Mendidik yang Terlupakan –
Media Indonesia – 3 Desember 2018
41. Hak Asasi Manusia, Bukan
Sekadar Retorika – Alinea – 10 Desember 2018
Itulah tulisan-tulisan yang
berhasil menembus meja redaksi berbagai media sepanjang 2017-2018. Tidak
terlalu banyak, karena saya bukan penulis cepat. Sepanjang 2017-2018, saya paling
banyak menulis dua artikel seminggu, kadang cuma satu artikel. Beberapa tulisan
itu bisa Anda telusuri jejaknya menggunakan mesin pencari.
Beberapa catatan lain yang saya perlu
sampaikan:
1. Pada pertengahan 2018 saya
tidak menulis artikel selama beberapa bulan karena menggarap beberapa proyek ghostwriting
(menulis untuk pihak lain).
2. Bagi saya, seorang penulis artikel
perlu mendapatkan honor yang layak. Sejak pertengahan atau akhir 2017 saya berhenti
mengirim tulisan ke media-media yang honornya seret atau perlu ditagih-tagih.
Prinsip ini membuat saya beberapa kali dianggap penulis matre, tapi itu tak
terlalu jadi soal. Menulis artikel adalah pekerjaan. Tiap artikel yang saya
tulis tidak ada yang jadi sekali duduk. Kalaupun selesai, saya endapkan dulu
selama beberapa jam, baru kemudian disunting dan disempurnakan lagi sebelum
dikirimkan. Pernah ada satu artikel yang saya garap hampir seminggu. Untuk
semua itulah saya merasa berhak mendapat honor sesuai yang telah dijanjikan.
3. Saya berterima kasih kepada
teman-teman penulis yang kadang berbagi alamat e-mail media atau ide menulis yaitu Arie Saptaji, Slamat Sinambela, Riza
Multazam Luthfy, Muazzah Muhammad, Sam Edy Yuswanto, Fajar S. Pramono, Yogyantoro,
Marzuki Wardi, Supriadi, juga Anton Suparyanta.
4. Sampai saat ini, saya tidak
tahu siapa redaktur atau editor di beberapa media seperti Kompas, Analisa, Koran
Sindo, Kontan, atau lainnya yang meloloskan tulisan saya. Namun saya mengenal beberapa
redaktur atau editor yang, tentunya, kepada mereka saya wajib mengucapkan
terima kasih: Mumu Aloha (Detik), Radhar Panca Dahana (Kompas/Teroka), Tito
Dirhantoro (Jurnal Ruang), Wa Ode Wulan Ratna (Jurnal Ruang), Yayan Sopyan
(Beritagar), Purnama Ayu Rizky (Alinea), Hermawan Aksan (Tribun Jabar), Damhuri
Muhammad (Media Indonesia – sastra/cerpen), dan Victor Yasadhana (Media
Indonesia).
5. Terima kasih juga kepada
rekan-rekan yang pernah belajar bersama saya untuk menulis artikel di kelas
menulis online yang saya selenggarakan yaitu Bondan Satria Nusantara, Nurkholis
Taufiq, Wandi Tambunan, Sherly Valent, Nataviana Anwar, Andreas Agus Budjianto,
Khaerul Ummah, Erni Riyard, Dharma Mauliate Hutauruk, Mas Fah, Anggoro Utomo,
Albertus Goentoer Tjahjadi, Brahmanto Anindito, Yustin Widoretno, Azri Zakkiyah, Fajaruddin
Atsnan, dan Hanifatul Hijriati. Walaupun saya yang membuka kelas mengajarnya,
bukan berarti atau melulu saya gurunya. Beberapa teman ada yang suka berbagi,
memberikan ide-ide menulis artikel.
6. Beberapa tulisan saya di atas
memenangi penghargaan. Saya anggap itu sebagai bonus. Pada Agustus 2017 saya menerima penghargaan dari Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) untuk opini yang berjudul “Film, Anak,
dan Keluarga” dalam acara Apresiasi Pendidikan Keluarga. Pada 15-16 Agustus
2017 saya diundang menjadi pemakalah panel di Seminar Nasional Kritik Sastra
yang dihelat Dewan Kesenian Jakarta bersama Kemdikbud karena tulisan saya yang
berjudul “Dokumentasi sebagai Acuan Kritik Sastra” dinilai cukup baik untuk dipresentasikan.
Pada Mei 2018, tulisan saya yang berjudul “Menggagas Pendidikan yang Toleran”
masuk sebagai lima tulisan terbaik dalam Lomba Artikel dan Karya Jurnalistik
Kemdikbud. Pada Oktober 2018, tulisan saya yang berjudul “Membangkitkan
Antusiasme Belajar di Keluarga” (tidak ada dalam daftar di atas, dimuat di
weblog) masuk dalam nominasi pemenang di kegiatan Apresiasi Pendidikan Keluarga
yang dihelat Kemdikbud.
7. Bagi pembaca yang tertarik
juga untuk menulis artikel, saya terbuka untuk belajar bersama. Pertanyaan tentang
cara mengirim tulisan, alamat e-mail redaksi, dan hal-hal lainnya bisa
dikirimkan ke sidiknugroho@yahoo.com.
8. 2019 adalah tahun yang masih
menjadi misteri: apakah saya akan kembali menulis artikel-artikel seperti ini,
mendapat proyek ghostwriting lainnya, atau kembali menulis novel
kriminal-misteri. Yang jelas, tahun pasti berganti, dan saya masih belum
memiliki resolusi. J
Selamat menyongsong Tahun Baru!
Selamat menyongsong Tahun Baru!
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.